Saturday, January 20, 2018

Memaknai Rutinitas

Hidup ini merupakan sekumpulan rutinitas. Enam puluh detik berlalu menjadi satu menit akan berulang kembali hingga genap menjadi satu jam, yang kemudian menjadi duapuluh empat jam lazim kita sebut dengan satu hari. Angka tersebut akan kembali dimulai dari satu, dua, tiga, dan seterusnya sampai ke angka duapuluh empat lagi. Hari berganti hari dari ahad, senin, sampai sabtu kemudian kembali lagi ke hari ahad. Penanggalanpun demikian juga, tanggal satu, dua, tiga hingga tigapuluh atau tigapuluh satu kemudian kembali lagi ke penanggalan hari pertama, dan seterusnya hanya diseling beda ketika bulan Pebruari yang duapuluh delapan atau empat tahun sekali menjadi duapuluh sembilan sebagai tahun kabisat. Bermula dari bulan Januari berganti Pebruari, Maret hingga berakhir pada bulan Desember dan kembali lagi ke Januari. Matahari setiap pagi kita temukan di timur yang di waktu sore hari tenggelam di ufuk barat.
Jadi kalau hidup ini sendiri sudah merupakan sekumpulan rutinitas untuk apa kita jenuh menjalaninya. Mau jenuh atau tidak, toh tetap tidak ada kemungkinan untuk mengelak sedikitpun. Dari pagi bangun tidur, sholat, sarapan dilanjutkan aktivtas di sekolah atau tempat kerja sebagian besarnya akan berulang kembali di hari berikutnya, dengan sedikit variasi ada waktu-waktu tertentu libur tidak sekolah atau bekerja, atau mungkin juga bermain, atau bisa jadi reakreasi.

Mempersoalkan rutinitas tidak akan pernah menyelesaikan apa-apa. Justru yang terjadi adalah semakin menambah permasalahan yang seharusnya tidak perlu ada. Masalah yang sederhana menjadi rumit. Persoalan kecil bisa membesar seolah-olah beban berat yang nyaris tak tertanggungkan.

Jika menganggap sebuah rutinitas adalah masalah, maka kita perlu melakukan introspeksi diri. Benarkah rutinitas itu membosankan, benarkah rutinitas itu suatu masalah sehingga harus dihilangkan. Jika harus dihilangkan mungkinkah itu bisa terjadi.

Untuk bisa menghafalkan al-Qur’an diperlukan pengulangan yang berkali-kali. Bisa jadi ada yang harus sampai puluhan kali mengulang agar bisa benar-benar hafal. Untuk menjadi juara kelas, tentu diperlukan mengulangi pelajaran yang telah dipelajari di kelas. Jika cepat merasa bosan maka bagaimana bisa menjadi seorang hafidz atau bagaimana pula bisa menjadi juara kelas. Mustahil bukan?

Makan minum yang kita lakukan setiap hari merupakan sebagian kecil dari rutinitas. Ritme hidup yang selalu kita jalani. Menu kita sehari-sehari sebagai warga negara Indonesia tetaplah nasi yang bahan bakunya adalah beras. Dan umumnya tiga kali menyantapnya. Air yang kita minum sebagian besar adalah air yang tak berwarna, bahkan tanpa rasa alias hambar.

Bosankah kita dengan menu yang demikian? Sesekali mungkin ada rasa jenuh, maka kemudian dirancanglah menu dengan bahan baku yang sama, akan tetapi diiringi dengan lauk pauk yang berbeda-beda, atau cara pengolahan yang berbeda. Demikian juga minumnya divariasikan dengan beraneka macam menu, yang pada dasarnya tetaplah menggunakan air tawar. Jadi dengan sedikit polesan saja sebuah rutinitas tidak terasa lagi sebagai sebuah rutinitas, justru serasa sesuatu yang baru, padahal inti pokoknya tetaplah sama, barangkali ada sedikit bungkusnya yang berbeda.

Sebenarnya rutinitas disebut sebagai rutinitas atau bukan tergantung pada rasa. Jika perasaannya menganggap bahwa apa yang terjadi adalah rutinitas belaka maka imbas berikutnya yang terjadi adalah kebosanan, kejenuhan. Rasa jenuh muncul karena merasakan bahwa apa yang dilakukan atau dilalui hanyalah sebatas sebegitu-begitu saja, datar, monoton, nyaris tanpa makna bahkan bisa jadi memang tak bermakna. Bahkan permasalahan keseharian yang sebenarnya mengalir begitu saja jika terlalu dipikirkan akan bosannya, maka kebosananlah yang kemudian lebih terasa.

Jadi agar bosan tidak menyambangi kita, maka perlu langkah-langkah untuk mengantisipasinya. Sekecil apapun variasi yang kita lakukan akan memberikan warna yang berbeda, sebagai mana air tawar yang ditambahkan segenggam teh dengan ditambahkan sesendok kopi akan memiliki rasa yang berbeda. Padahal sama-sama disebut sebagai minuman. Dengan variasi meskipun sangat sedikit ini akan memberikan suasana berbeda sehingga rasa jenuh atau bosan tak sempat menghinggapi kita. Dan yang tak kalah pentingnya bagaimana kita mengelola agar jenuh itu tidak datang adalah dengan cara tidak perlu memikirkan tentang kejenuhan itu.

Kalau masih juga sesekali jenuh itu menerpa kita, ada baiknya untuk introspeksi diri. Kita kenali kembali diri kita sendiri. Niat apa yang terbersit dalam hati ketika menjalani aktifitas sehari-hari. Adakah niat yang tak seharusnya hadir dalam keseharian kita. Mungkin, ada sebersit ingin dilihat orang lain, bisa jadi agar dipuji sebagai orang yang hebat, atau agar menjadi bintang kelas. Bila niat-niat yang demikian tidak tercapai, maka kemungkinan yang diperoleh adalah rasa bosan, bahkan kecewa. Kecewa terhadap diri sendiri atau juga terhadap orang lain.

Bila demikian halnya yang terjadi, maka marilah kita perbaiki niat kita. Segala sesuatunya kita niatkan sebagai ibadah, maka semua akan terasa ringan, bukan beban apalagi sesuatu yang membosankan. Karena dengan niat beribadah maka itu merupakan motivasi tertinggi bagi seorang muslim. Jangkauannya sangat jauh ke depan hingga hari akhir nanti. Maka, seandainya masih ada beberapa pencapaian yang belum sesuai dengan target tidaklah berakhir kecewa. Justru akan menjadi cambuk penyemangat, sarana instrospeksi diri agar hari-hari selanjutnya bisa lebih gemilang.

Kebiasaan kita sehari-hari adalah rutinitas itu sendiri. Bedanya bukan pada apa yang dilakukan, akan tetapi bagaimana melakukannya. Apakah sekedarnya saja, penggugur kewajiban, atau justru setiap kali melakukan kebiasaan itu ada makna tersendiri yang terpatri kuat dalam jiwa kita. Makna itu adalah ibadah, maka segala sesuatunya tidak akan lagi menjadi sekedar rutinitas.

No comments:

Post a Comment