Hidup ini merupakan sekumpulan rutinitas.
Enam puluh detik berlalu menjadi satu menit akan berulang kembali
hingga genap menjadi satu jam, yang kemudian menjadi duapuluh empat jam
lazim kita sebut dengan satu hari. Angka tersebut akan kembali dimulai
dari satu, dua, tiga, dan seterusnya sampai ke angka duapuluh empat
lagi. Hari berganti hari dari ahad, senin, sampai sabtu kemudian kembali
lagi ke hari ahad. Penanggalanpun demikian juga, tanggal satu, dua,
tiga hingga tigapuluh atau tigapuluh satu kemudian kembali lagi ke
penanggalan hari pertama, dan seterusnya hanya diseling beda ketika
bulan Pebruari yang duapuluh delapan atau empat tahun sekali menjadi
duapuluh sembilan sebagai tahun kabisat. Bermula dari bulan Januari
berganti Pebruari, Maret hingga berakhir pada bulan Desember dan kembali lagi ke Januari. Matahari setiap pagi kita temukan di timur yang di waktu sore hari tenggelam di ufuk barat.
Mempersoalkan rutinitas tidak akan pernah
menyelesaikan apa-apa. Justru yang terjadi adalah semakin menambah
permasalahan yang seharusnya tidak perlu ada. Masalah yang sederhana
menjadi rumit. Persoalan kecil bisa membesar seolah-olah beban berat
yang nyaris tak tertanggungkan.
Jika menganggap sebuah rutinitas adalah
masalah, maka kita perlu melakukan introspeksi diri. Benarkah rutinitas
itu membosankan, benarkah rutinitas itu suatu masalah sehingga harus
dihilangkan. Jika harus dihilangkan mungkinkah itu bisa terjadi.
Untuk bisa menghafalkan al-Qur’an
diperlukan pengulangan yang berkali-kali. Bisa jadi ada yang harus
sampai puluhan kali mengulang agar bisa benar-benar hafal. Untuk menjadi
juara kelas, tentu diperlukan mengulangi pelajaran yang telah
dipelajari di kelas. Jika cepat merasa bosan maka bagaimana bisa menjadi
seorang hafidz atau bagaimana pula bisa menjadi juara kelas. Mustahil
bukan?
Makan minum yang kita lakukan setiap hari
merupakan sebagian kecil dari rutinitas. Ritme hidup yang selalu kita
jalani. Menu kita sehari-sehari sebagai warga negara Indonesia tetaplah
nasi yang bahan bakunya adalah beras. Dan umumnya tiga kali
menyantapnya. Air yang kita minum sebagian besar adalah air yang tak
berwarna, bahkan tanpa rasa alias hambar.
Bosankah kita dengan menu yang demikian?
Sesekali mungkin ada rasa jenuh, maka kemudian dirancanglah menu dengan
bahan baku yang sama, akan tetapi diiringi dengan lauk pauk yang
berbeda-beda, atau cara pengolahan yang berbeda. Demikian juga minumnya
divariasikan dengan beraneka macam menu, yang pada dasarnya tetaplah
menggunakan air tawar. Jadi dengan sedikit polesan saja sebuah rutinitas
tidak terasa lagi sebagai sebuah rutinitas, justru serasa sesuatu yang
baru, padahal inti pokoknya tetaplah sama, barangkali ada sedikit
bungkusnya yang berbeda.
Sebenarnya rutinitas disebut sebagai
rutinitas atau bukan tergantung pada rasa. Jika perasaannya menganggap
bahwa apa yang terjadi adalah rutinitas belaka maka imbas berikutnya
yang terjadi adalah kebosanan, kejenuhan. Rasa jenuh muncul karena
merasakan bahwa apa yang dilakukan atau dilalui hanyalah sebatas
sebegitu-begitu saja, datar, monoton, nyaris tanpa makna bahkan bisa
jadi memang tak bermakna. Bahkan permasalahan keseharian yang sebenarnya
mengalir begitu saja jika terlalu dipikirkan akan bosannya, maka
kebosananlah yang kemudian lebih terasa.
Jadi agar bosan tidak menyambangi kita,
maka perlu langkah-langkah untuk mengantisipasinya. Sekecil apapun
variasi yang kita lakukan akan memberikan warna yang berbeda, sebagai
mana air tawar yang ditambahkan segenggam teh dengan ditambahkan
sesendok kopi akan memiliki rasa yang berbeda. Padahal sama-sama disebut
sebagai minuman. Dengan variasi meskipun sangat sedikit ini akan
memberikan suasana berbeda sehingga rasa jenuh atau bosan tak sempat
menghinggapi kita. Dan yang tak kalah pentingnya bagaimana kita
mengelola agar jenuh itu tidak datang adalah dengan cara tidak perlu
memikirkan tentang kejenuhan itu.
Kalau masih juga sesekali jenuh itu
menerpa kita, ada baiknya untuk introspeksi diri. Kita kenali kembali
diri kita sendiri. Niat apa yang terbersit dalam hati ketika menjalani
aktifitas sehari-hari. Adakah niat yang tak seharusnya hadir dalam
keseharian kita. Mungkin, ada sebersit ingin dilihat orang lain, bisa
jadi agar dipuji sebagai orang yang hebat, atau agar menjadi bintang
kelas. Bila niat-niat yang demikian tidak tercapai, maka kemungkinan
yang diperoleh adalah rasa bosan, bahkan kecewa. Kecewa terhadap diri
sendiri atau juga terhadap orang lain.
Bila demikian halnya yang terjadi, maka
marilah kita perbaiki niat kita. Segala sesuatunya kita niatkan sebagai
ibadah, maka semua akan terasa ringan, bukan beban apalagi sesuatu yang
membosankan. Karena dengan niat beribadah maka itu merupakan motivasi
tertinggi bagi seorang muslim. Jangkauannya sangat jauh ke depan hingga
hari akhir nanti. Maka, seandainya masih ada beberapa pencapaian yang
belum sesuai dengan target tidaklah berakhir kecewa. Justru akan menjadi
cambuk penyemangat, sarana instrospeksi diri agar hari-hari selanjutnya
bisa lebih gemilang.
Kebiasaan kita sehari-hari adalah
rutinitas itu sendiri. Bedanya bukan pada apa yang dilakukan, akan
tetapi bagaimana melakukannya. Apakah sekedarnya saja, penggugur
kewajiban, atau justru setiap kali melakukan kebiasaan itu ada makna
tersendiri yang terpatri kuat dalam jiwa kita. Makna itu adalah ibadah,
maka segala sesuatunya tidak akan lagi menjadi sekedar rutinitas.
No comments:
Post a Comment