Tak jarang guru baru, dan saya sendiri pun pernah mengalami merasa
gamang dengan hasil belajar yang diperoleh oleh peserta didik. Istilah
sekarang banyak anak-anak yang tak mencapai KKM alias belum tuntas dan
akhirnya gurulah yang kalang kabut bagaimana agar tuntas dengan berbagai
macam tipe remedial yang dijalankan.
Tahun pertama biasanya masih bisa menghibur diri, toh ini pengalaman
baru wajarlah kalau begitu. Tapi kalau tahun-tahun berikutnya masih juga
mengalami hal yang sama, tak bisa lagi menghibur diri demikian.
Bagi yang tak mau ambil pusing, cukuplah ambil kesimpulan dasar
peserta didik yang kemampuannya segitu-gitunya, mau diapakan lagi.
Kewajiban sudah ditunaikan, evaluasi pembelajaran telah dilaksanakan,
kalau hasilnya masih ada yang di bawah standar ya itu kan kemampuan anak
itu berbeda-beda. Ada yang melejit mendominasi perolehan angka-angka
hingga menjadi juara kelas, ada pula yang hanya pengumpul standar
minimal belaka yang bahkan terancam harus rela meninggalkan
teman-temannya.
Saya dulu pun begitu. Menimpakan kesalahan sebagian besar pada
kemampuan anak yang segitu-gitunya. Intinya merasa pokoknya saya sudah
berusaha maksimal dalam mengantarkan anak-anak menuju pemahaman ilmu
yang lebih baik. Semua yang harus saya sampaikan sudah saya jabarkan
dalam tiap pertemuan. Sesuai dengan teori normalitas dalam statistik,
bukankah memang ada sebagian kecil yang tertinggal, maksudnya memiliki
prestasi yang berada di level bawah, dan sebagian kecil lagi yang
melejit level atas dan yang sebagian besar berada di papan tengah.
Kini kusadari, itu semua hanyalah sebuah upaya pembenaran karena
ketidaktahuan diri saya sendiri. Kalau kita mau jujur dan mau menanyakan
pada diri sendiri benarkah upaya yang telah kita lakukan selama telah
optimal? Selanjutnya sudahkah evaluasi yang kita lakukan selama ini
telah benar-benar mewakili ranah kemampuan peserta didik?
Lagi-lagi jawaban spontan yang akan muncul adalah semuanya telah
dilakukan. Proses pembelajaran maksimal, apalagi penilaian hasil
belajar. Ulangan harian per bab, tugas tambahan agar nilainya bagus
sudah diberikan juga. Tes akhir semester apalagi, kan mengikuti jadwal
resmi dari instansi terkait.
Oke, kalau jawabannya seperti itu, saya juga sepakat. Tapi sudahkah
kita memahami bahwa tes yang kita lakukan selama ini sebagian besar
hanya pada ranah kognitif belaka, lebih dominan mengharapkan bagaimana
anak sukses menghafalkan apa yang kita suapkan tiap pertemuan itu. Kita
akui atau tidak bentuk tes yang kita suguhkan sebagian besar memberikan
peluang kepada peserta didik untuk melakukan undian (bukankah soal dalam
bentuk pilihan ganda mudah diundi pilihannya?). sangat jarang kita
membuat tes dengan model uraian yang bisa menggambarkan kemampuan tidak
hanya dalam hal menganalisis permasalahan, namun juga lemah dalam hal
bagaimana mengungkapkan pendapatnya dalam kalimat yang enak dibaca.
Saya juga paham, tes model pilihan memang praktis, banyak materi yang
bisa diujikan sekaligus, juga praktis dalam mengoreksinya tak kan
muncul kekhawatiran penilaian yang subyektif karena kemungkinan
jawabannya hanya benar atau salah, tidak ada yang masuk wilayah abu-abu.
Mohon maaf pada sesama guru ini hanyalah sebuah renungan, yang semoga
tak menyinggung siapapun kecuali diri saya sendiri yang sedang belajar
untuk semakin memahami bagaimana proses pembelajaran yang efektif itu.
Mohon maaf pula tulisan ini belum bicara tentang solusi,semoga akan
lahir dari perenungan episode berikutnya.
No comments:
Post a Comment