Wednesday, January 17, 2018

Sekedar Interupsi

Tak jarang guru baru, dan saya sendiri pun pernah mengalami merasa gamang dengan hasil belajar yang diperoleh oleh peserta didik. Istilah sekarang banyak anak-anak yang tak mencapai KKM alias belum tuntas dan akhirnya gurulah yang kalang kabut bagaimana agar tuntas dengan berbagai macam tipe remedial yang dijalankan.


Tahun pertama biasanya masih bisa menghibur diri, toh ini pengalaman baru wajarlah kalau begitu. Tapi kalau tahun-tahun berikutnya masih juga mengalami hal yang sama, tak bisa lagi menghibur diri demikian.

Bagi yang tak mau ambil pusing, cukuplah ambil kesimpulan dasar peserta didik yang kemampuannya segitu-gitunya, mau diapakan lagi. Kewajiban sudah ditunaikan, evaluasi pembelajaran telah dilaksanakan, kalau hasilnya masih ada yang di bawah standar ya itu kan kemampuan anak itu berbeda-beda. Ada yang melejit mendominasi perolehan angka-angka hingga menjadi juara kelas, ada pula yang hanya pengumpul standar minimal belaka yang bahkan terancam harus rela meninggalkan teman-temannya.

Saya dulu pun begitu. Menimpakan kesalahan sebagian besar pada kemampuan anak yang segitu-gitunya. Intinya merasa pokoknya saya sudah berusaha maksimal dalam mengantarkan anak-anak menuju pemahaman ilmu yang lebih baik. Semua yang harus saya sampaikan sudah saya jabarkan dalam tiap pertemuan. Sesuai dengan teori normalitas dalam statistik, bukankah memang ada sebagian kecil yang tertinggal, maksudnya memiliki prestasi yang berada di level bawah, dan sebagian kecil lagi yang melejit level atas dan yang sebagian besar berada di papan tengah. 

Kini kusadari, itu semua hanyalah sebuah upaya pembenaran karena ketidaktahuan diri saya sendiri. Kalau kita mau jujur dan mau menanyakan pada diri sendiri benarkah upaya yang telah kita lakukan selama telah optimal? Selanjutnya sudahkah evaluasi yang kita lakukan selama ini telah benar-benar mewakili ranah kemampuan peserta didik?

Lagi-lagi jawaban spontan yang akan muncul adalah semuanya telah dilakukan. Proses pembelajaran maksimal, apalagi penilaian hasil belajar. Ulangan harian per bab, tugas tambahan agar nilainya bagus sudah diberikan juga. Tes akhir semester apalagi, kan mengikuti jadwal resmi dari instansi terkait.

Oke, kalau jawabannya seperti itu, saya juga sepakat. Tapi sudahkah kita memahami bahwa tes yang kita lakukan selama ini sebagian besar hanya pada ranah kognitif belaka, lebih dominan mengharapkan bagaimana anak sukses menghafalkan apa yang kita suapkan tiap pertemuan itu. Kita akui atau tidak bentuk tes yang kita suguhkan sebagian besar memberikan peluang kepada peserta didik untuk melakukan undian (bukankah soal dalam bentuk pilihan ganda mudah diundi pilihannya?). sangat jarang kita membuat tes dengan model uraian yang bisa menggambarkan kemampuan tidak hanya dalam hal menganalisis permasalahan, namun juga lemah dalam hal bagaimana mengungkapkan pendapatnya dalam kalimat yang enak dibaca.

Saya juga paham, tes model pilihan memang praktis, banyak materi yang bisa diujikan sekaligus, juga praktis dalam mengoreksinya tak kan muncul kekhawatiran penilaian yang subyektif karena kemungkinan jawabannya hanya benar atau salah, tidak ada yang masuk wilayah abu-abu.

Mohon maaf pada sesama guru ini hanyalah sebuah renungan, yang semoga tak menyinggung siapapun kecuali diri saya sendiri yang sedang belajar untuk semakin memahami bagaimana proses pembelajaran yang efektif itu. Mohon maaf pula tulisan ini belum bicara tentang solusi,semoga akan lahir dari perenungan episode berikutnya.

No comments:

Post a Comment