Kurikulum baru yang di Jawa Barat lazim disebut dengan kurtilas telah
secara serentak diterapkan secara nasional. Sebagai sesuatu yang baru
banyak menimbulkan pro dan kontra adalah hal yang wajar. Perubahan
menurut teori divusi inovasi akan selalu menimbulkan sikap yang
bermacam-macam bagi para pelakunya, sebagian
besar akan mengikuti perubahan itu secara berangsur-angsur, hanya
sebagian kecil saja yang sepenuhnya menolak dan sebagian kecil pula yang
dengan segera menerima perubahan itu. Namun dalam hal kurikulum ini
kita tidak
mempunyai hak untuk tidak menerimanya, semua jenjang
pendidikan dasar dan menengah wajib melaksanakannya.
Secara substansi isi sebenarnya tidak banyak mengalami perubahan.
Sebagian besar apa yang terdapat di dalam kurikulum sebelumnya masih
diakomodir di dalam kurikulum 2013. Hanya saja berkaitan dengan sikap
ditarik atas semua pelajaran menjadi Kompetensi Inti 1 (KI 1) yang pada
kurikulum sebelumnya tidak ada. KI 1 diharapkan semua peserta didik
mampu mengimplentasikan setiap pembelajaran ke dalam semangat
religiusitas menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Meskipun
demikian sebenarnya secara substansi hal ini sebenarnya sudah secara
tegas dijabarkan di dalam tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang
telah termaktub di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
Kurikulum 2013 lebih menekankan pada peran peserta didik dalam proses
pembelajaran. Kalau kita menilik kurikulum yang sebelumnya, baik yang
CBSA, KBK maupun KTSP sebenarnya hal tersebut sudah nampak diupayakan
muncul peran serta peserta didik dalam proses pembelajaran. Istilahnya
pembelajaran berpusat pada peserta didik (student centered), namun pada kenyataannya masih banyak terjadi posisi gurulah yang paling menentukan (teachers centered).
Pola demikian yang sudah sangat mengakar bukanlah perkara mudah untuk
mengubahnya. Bukan hanya pada guru terdapat kendala bagaimana secara
perlahan-lahan meninggalkan pola lama ini, namun juga terdapat kendala
pada peserta didik, yang selama ini merasa nyaman dengan penerimaan yang
apa adanya. Padahal secara nyata hasil yang diperoleh tentu kurang
maksimal.
Jika, pada kurikulum sebelumnya pola pembelajaran yang stundent centered
masih menjadi salah pilihan, maka pada kurtilas bukanlah sebuah pilihan
akan tetapi telah menjadi sebuah keharusan. Sistem penilaian yang
dimunculkan dalam kerikulum sebelumnya masih dominan pada ranah kognitif
yang masih memungkinkan peserta didik sekedar menerima apa yang
disampaikan oleh guru, namun pada kurikulum 2013 telah dimunculkan
sistem penilaian yang menuntut peran aktif dari peserta didik.
Pembelajaran student centered haruslah bersifat menyenangkan (funny).
Keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran akan meningkatkan
kemampuan daya serap terhadap materi pembelajaran. Peserta didik dapat
merasakan langsung karena pendekatan utama yang digunakan adalah
pendekatan saintifik. Pendekatan ini berusaha meningkatkan pembelajaran
menjadi lebih konkrit, terasa langsung oleh peserta didik. Peserta didik
diharapkan mampu menyimpulkan pengalamannya dalam pembelajaran menjadi
sebuah pemahaman yang utuh terhadap suatu materi pembelajaran.
Perlu secara perlahan-lahan untuk dapat melibatkan peserta didik
dalam pembelajaran yang tidak konvensional. Karena pada kenyataannya,
meskipun pola pembelajaran konvensional adalah teachers centered
namun bukan berarti tak disukai oleh peserta didik. Tidak sedikit
peserta didik yang telah berada dalam posisi kenyamanan dengan pola
pembelajaran konvensional. Kenyamanan tersebut tidak berkaitan dengan
hasil pemahaman yang diperoleh terhadap suatu materi pembelajaran, akan
tetapi kenyamaan yang dirasakan adalah kenyamanan tidak banyak
dilibatkan dalam proses pembelajaran. Cukup datang, dengar, sesekali
mencatat, bahkan juga diselingi dengan terkantuk-kantuk kemudian selesai
pulang. Pola yang demikian membuat peserta didik merasa nyaman karena
sudah menjadi rutinitas harian.
Ketika yang dipahami adalah ribetnya proses pembelajaran, karena
harus mengupayakan siswa serba aktif, maka pembelajaran tidak bisa
berlangsung secara menyenangkan. Yang terjadi justru terasa sebagai
beban yang harus dipikul oleh seorang guru. Upaya yang dilakukan juga
belum tentu sesuai dengan tujuan pembelajaran yang semestinya.
Sebaliknya jika mengejar fun dalam pembelajaran ada celah menjadi trend yang kebablasan. Karena kata kunci yang dijadikan pegangan hanyalah fun, menggembirakan, tidak ada yang merasa tertekan.
Fun dalam pembelajaran hanyalah sebuah sarana. Pembelajaran
yang sesungguhnya tetaplah bagaimana agar peserta didik mampu menyerap
pembelajaran semaksimal mungkin. Pembelajaran yang bisa diserap secara
maksimal hanyalah pembelajaran yang bermakna. Materi yang runut sesuai
dengan usia perkembangan peserta didik, model pembelajaran yang cocok
dengan materi. Peraga yang tidak terlalu mengada-ada sehingga tidak
memberatkan guru untuk menyiapkannya. Penyampaian materi yang dengan
menyederhakan permasalahan sesuai dengan usia perkembangan peserta
didik.
No comments:
Post a Comment